Penerapan “Exhaustion Principle” Di Bidang Paten Oleh:
Oky Deviany Burhamzah Email: okyd01@yahoo.com Fakultas Hukum UNHAS
A.Pendahuluan
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan hak yang barasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut bisa di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastera (Djumhana, 1996).
Pemilikan tersebut bukan terhadap barang melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusia, misalnya berupa ide. Perlindungan atas kekayaan intelektual didasari atas alasan bahwa, walaupun sangat abstrak, kekayaan intelektual dianggap memiliki nilai komersial atau nilai ekonomi. Hal ini karena ‘kekayaan intelektual’ mengacu pada rancang bangun, teknologi atau produk yang ditemukan oleh pribadi atau perusahaan tertentu, dan ‘hak’ mengacu pada pengakuan bahwa penemunya harus diberi imbalan, seperti hak secara eksklusif untuk memanfaatkannya, atau untuk menarik royalti dengan cara menyewakan penggunaannya. Perlindungan HAKI diberikan melalui hak paten, hak cipta, atau merek dagang, kepada pemilik atau penemunya (Khor, 1993).
Sebagai suatu hak milik yg timbul dari karya, karsa, cipta manusia atau dapat pula disebut sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena, atau lahir dari kemampuan intelektualitas manusia, sehingga atas hasil kreasi tersebut, dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkan. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti yang seluas-luasnya yang juga meliputi milik yang tak berwujud (Roscoe Pound, 1982).
Dengan kondisi demikian maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya terhadap hasil karyanya tersebut, dengan beberapa pembatasan-pembatasan, dan berhak untuk melarang pihak lain untuk menggunakan atau memperbanyak karya tersebut tanpa seizin dari si pemegang hak. Hak ini biasa juga disebut sebagai hak eksklusif (exclusive right) yang dilindungi oleh undang-undang.
HaKI memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta seni dan sastra. Perkembangan yang sangat pesat di bidang seni khususnya musik dan karya sastera, begitu pula dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang mulai dari teknologi yang sederhana hingga teknologi canggih, berpengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi suatu negara, khususnya negara-negara maju penghasil hi-tech. Hal tersebut yang melatarbelakangi sehingga negara-negara maju sangat concern terhadap perlindungan HaKI.
Di tingkat internasional perlindungan HaKI merupakan isu penting. Pada awalnya HAKI hanya dianggap sebagai alat untuk meningkatkan kreativitas dan penciptaan sehingga dibentuklah WIPO (World Intellectual Property Organization) untuk merundingkan kesepakatan mengenai beberapa konvensi internasional, misalnya konvensi Paris (1967) mengenai Perlindungan tentang Kekayaan Industri dan Konvensi Bern (1971) tentang Perlindungan Terhadap Karya Tulis dan Seni.
Namun kemudian gagasan, kreativitas dan teknologi dianggap semakin penting sebagai mata rantai perdagangan. Maka muncullah gagasan untuk mengkaitkan perlindungan HaKI dengan sistem perdagangan. Hingga pada akhirnya masalah HaKI melalui kesepakatan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) dimasukkan sebagai salah satu aturan dalam WTO (Worl Trade Organization), meskipun hal tersebut pada awalnya mendapat tantangan keras dari negara-negara berkembang, Namun karena lobi dari negara-negara maju, sebagai pemrakarsa terbentuknya WTO, dimana negara-negara tersebut adalah negara penghasil teknologi, sangat berkepentingan untuk memberikan perllindungan atas HAKI, sehingga HAKI berhasil dimasukkan dalam salah satu kesepakatan WTO.
Dengan dimasukkannya HAKI dalam aturan WTO, otomatis HAKI menjadi issu global. Hal ini seiring dengan perkembangan perdagangan saat ini yg mengarah pada perdagangan bebas (free trade), atau dikenal juga dengan globalisasi ekonomi, yang mencirikan perekonomian yang berwajah kapitalis.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang muncul dalam hubungannya dengan penerapan prinsip “exhaution” dalam kebijakan paten di Indonesia adalah: (1). Bagaimana implikasi hak eksklusif HAKI dan hubungannya dengan kegiatan impor paralel ditinjau dari prinsip-prinsip hukum persaingan usaha? (2) Sejauh mana pelaksanaan kewenangan pemegang lisensi HAKI terhadap kegiatan impor paralel dan kaitannya dengan prinsip-prinsip hukum persaingan usaha?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kerangka dasar hak eksklusif HAKI yang dapat mencegah terjadinya hambatan dalam mekanisme persaingan terbuka.
2. Untuk mengetahui status hukum impor paralel berkaitan dengan lisensi paten, ditinjau dari asas dan tujuan dari Hukum Larangan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan tiga tataran pendekatan untuk mendapatkan informasi mengenai isu yang diajukan. Ketiga pendekatan yang dimaksud yakni pendekatan rechtsdogmatiek (dogmatik Hukum), rechtstheorie (teori hukum). Dan rechtsfilosofie (filsafat hukum). Tataran dogmatik hukum dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap substansi peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan Usaha, yang akan membahas konsistensi antara muatan dan bentuk hukumnya serta konsistensinya terhadap peraturan perundang-undangan yang lain. Tataran teori hukum dimaksudkan untuk menganalisis beberapa teori hukum yang berkaitan dengan Hukum persaingan dan lisensi atas Hak-hak atas Kekayaan Intelektual. Tataran filosofis dimaksudkan untuk mengkaji prinsip-prinsip hukum yang mendasari hukum persaingan usaha yang dikaitkan dengan masalah lisensi paten.
E. Hasil dan Pembahasan
Globalisasi ekonomi yang esensinya adalah liberalisasi perdagangan mengakibatkan semakin terbuka lebarnya pasar domestik suatu negara bagi produk dan perusahaan (investor) asing, yang tidak jarang justru malah menyebabkan tersingkirnya produk/investor negara sendiri.
Globalisasi apabila ditelusuri ke belakang, mulai bergulir secara cepat sejak awal 1990an, yang bermula dari situasi dan kondisi perekonomian dunia pasca Perang Dunia II Tahun 1945. Amerika Serikat dengan negara sekutunya sebagai kekuatan ekonomi dan politik pada waktu itu memprakarsai Konfrensi Bretton Woods yang menhasilkan seperangkat aturan hukum ekonomi internasional berikut organisasi pelaksananya yang merupakan cikal bakal terbentuknya sistem perekonomian dunia melalui WTO (World Trade Organisation).
Sebagai lembaga international yang mengatur perdagangan antar negara, WTO merupakan kelanjutan dari persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade / GATT) yang terbentuk tahun 1947, hasil dari perundingan internasional yang diprakarsai oleh AS dan Inggris pasca Perang Dunia II di Bretton Woods,AS. Kemudian GATT dijadikan landasan hukum internasional bagi perdagangan barang antar negara.
Pada awal terbentuknya, tidak banyak negara berkembang yang turut serta dalam persetujuan GATT, karena pada saat itu banyak negara-negara berkembang masih berstatus sebagai negara jajahan. Mereka terikat pada GATT melalui keiutsertaan negara-negara bekas penjajahnya sebagai peserta GATT. Hal inilah yang menyebabkan sehingga substansi GATT pada awalnya sangat tidak berorientasi pada kepentingan negara berkembang.
Posisi negara berkembang pada saat itu memang terjepit, bila tidak ikut serta dalam GATT, maka mereka akan terpinggirkan dari perdagangan antar negara, namun bila ikut serta di dalamnya terasa tidak adil sebab mereka harus tunduk pada aturan dimana mereka tidak punya suara dalam proses pembentukannya. Sehinga, negara-negara berkembang , melalui PBB, pada tahun 1964 memprakarsai pembentukan United Nations Conferences on Trade and Development (UNCTAD) yang dimaksudkan sebagai sarana untuk mengedepankan posisi dan kepentingan mereka dalam perundingan dagang multilateral dalam konteks memperbaiki substansi dan sistem GATT agar lebih megakomodasi kepentingan negara berkembang. Upaya ini berhasil ketika di Putaran Tokyo 1973, negara-negara peserta GATT menerima dimasukkannya klausula yang mengaitkan pentingnya peranan perdagangan bagi pembangunan khususnya di negara berkembang. Berdasarkan klausula ini (dikenal sebagai “the enabling clause”) GATT pada prinsipnya memberikan “differential and more favourable treatment” bagi negara berkembang yang karena secara ekonomi dan sosial posisinya memang tidak setara dengan negara industri maju.
The enabling clause memberikan pengecualian bagi negara-negara berkembang dari kewajiban-kewajiban hukum yang sebenarnya mengikat semua negara peserta GATT. Mereka misalnya tidak harus menerapkan asas resiprositas/timbal balik terhadap negara maju atas komitmen atau kemudahan tertentu yang diberikan negara terakhir ini kepada mereka. Kelonggaran ini terlihat pada penerapan ekspor produk dari negara berkembang ke negara maju di bawah sistem yang dikenal sebagai The Generalized Sistem of Preferences/ GSP”.(A.F.Elly Erawaty, 2003:9)
Perundingan dagang multilateral dalam konteks GATT mengalami perubahan radikal ketika Putaran Uruguay yang diadakan pada tahun 1986, yang dimotori oleh AS, Uni Eropa dan Jepang, menginginkan perluasan wewenang GATT untuk juga mengatur persoalan HAKI, investasi, dan perdagangan sektor jasa. Ide ini pada awalnya sangat ditolak oleh negara berkembang yang ingin mempertahankan agar GATT hanya mengatur perdagangan barang saja. Negara-negara berkembang menganggap bahwa GATT hanya akan menguntungkan negara maju dan memberatkan negara berkembang, sebab jelas sekali bahwa pengembangan-pengembangan dibidang HAKI dan perdagangan disektor jasa, didominasi oleh perusahaan-perusahaan dari negara maju saja. Namun karena kekuatan lobi negara maju, pada Putaran Uruguay ketiga, ketiga topik di atas, meskipun tidak utuh, berhasil dimasukkan ke dalam GATT.
Pada Putaran Uruguay terakhir tahun 1994, GATT berhasil dilembagakan menjadi World Trade Organisation (WTO) dengan seperangkat perjanjian perdaganagn yang meliputi sektor kepemilikan intelektual (HAKI), jasa dan investasi, serta masalah penyelesaian sengketa diantara anggota, yang kesemuanya diperlakukan sebagai satu kesatuan atau “as a single undertaking” di bawah wewenang WTO. Dengan berfungsinya WTO maka secara formal prosedural GATT menjadi tidak berfungsi lagi, namun secara substansial prinsip-prinsipnya telah diadopsi oleh WTO yang memungkinkan diterapkannya “cross sectoral retaliation”. Apabila misalnya Negara A melakukan pelanggaran perjanjian mengenai dumping yang merugikan Negara B, maka B dapat mengambil tindakan balasan terhadap A dengan misalnya membatalkan komitmennya di sektor jasa, pertanian, atau sektor lainnya yang bukan tentang dumping.
Perjanjian WTO sebagai as a single undertaking, berarti bahwa semua negara angota WTO yang menandatangani perjanjian WTO sebagai satu kesatuan meliputi pula ketiga hal baru, yaitu TRIP’s (HAKI),TRIMS (Investasi), dan GATS (Perdagangan dibidang jasa). Negara peserta tidak dapat memilih-milih perjanjian mana saja yang akan diikutinya. Hal ini memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi negara berkembang. Keuntunganya, dengan prinsip ini perjanjian dibidang tekstil dan pertanian, dua hal yang sangat penting bagi negara berkembang, yang dahulunya terlepas dari paket GATT kini menjadi satu bagian dalam WTO sehinga semua negara termasuk negara maju menjadi terikat pada perjanjian ini. Kerugiannya, bahwa negara berkembang menjadi terikat juga pada perjanjian-perjanjian yang sejak awal dirasakan akan lebih banyak membebani mereka, yakni perjanjian tentang TRIP’s, TRIMS dan GATS.
Melihat hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang patut dicermati bekaitan dengan ratifikasi TRIP’s oleh negara anggota WTO, terutama negara-negara berkembang, Pertama, pemberlakuan TRIP’s mengubah perlindungan HAKI dari masalah dalam negeri menjadi persoalan global melalui upaya penyeragaman sistem perlindungan HAKI bagi semua negara anggota WTO. Padahal kondisi ekonomi, politik, budaya, dan hukum negara berkembang yang belum banyak mengenal peraturan perlindungan HAKI. Hal ini berpotensi dapat menimbulkan konflik dalam pelaksanaan di dalam negeri karena sistem perlindungannya yang lebih ketat serta secara substansi masih dianggap baru.
Kedua, aspek yang disepakati dalam TRIP’s sangat luas dan mencakup perlindungan HAKI terkait dengan perdagangan internasional. Sehingga peraturan apapun dibidang perlindungan HAKI akan selalu dikaitkan dampaknya dengan perdagangan internasional dan mitra dagang. Seperti misalnya pembajakan kaset, video, dan film asing di suatu negara dapat mempengaruhi kebijakan di bidang perdagangan lain yang tidak berkaitan sama sekali dengan kaset atau video. Artinya TRIP’s membuat penegakan HAKI menjadi sangat kompleks karena berkaitan dengan lalu lintas barang dan jasa internasional yang tidak terbatas jenis dan jumlahnya.
Terakhir, walaupun nampaknya TRIP’s mengandung peraturan yang ketat dan sulit dilaksanakan terutama di negara berkembang, ada beberapa pasal dan ketentuan yang sebenarnya merupakan pengaman atau sering disebut sebagai “safeguard”. Artinya ada peluang bagi setiap negara untuk mengadakan perlindungan HAKI yang sesuai dengan kebutuhan nasional, tetapi tidak bertentangan dengan TRIP’s. Hanya saja,seringkali ketentuan tersebut diartikan berbeda oleh negara maju dan negara berkembang sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai contoh, TRIP’s memberikan landasan standar minimum bagi perlindungan HAKI , tetapi misinterpretasi dan tekanan negara maju kadang-kadang membuat negara anggota memberlakukan perlindungan HAKI yang lebih kuat dibandingkan dengan ketentuan TRIP’s. Demikian pula, TRIP’s diharapkan membuat hukum perlindungan HAKI menjadi seragam disemua negara, padahal yang seragam hanyalah standar minimumnya saja. Dua ketentuan pengaman yang penting lainnya adalah mengenai impor parallel dan lisensi wajib, keduanya merupakan peluang untuk mencegah dampak negatif TRIP’s bagi masyarakat, misalnya bagi pelayanan kesehatan di negara berkembang, tetapi pemberlakuannya seringkali diprotes oleh negara maju.
Pada dasarnya ada beberapa alasan sehingga Negara-negara maju berupaya mengkaitkan perlindungan HaKI dengan perdagangan initernasional, yakni (Correa,1998):
1. Teknologi telah menjadi salah satu faktor penting dalam produksi barang dan jasa. Hal itu terlihat dari meningkatnya anggaran yang dikeluarkan untuk penelitian, pengembangan dan penemuan produk-produk baru. Karena itu dirasakan perlu adanya perlindungan yang semakin ketat untuk menghindari pemalsuan sehingga modal yang dikeluarkan untuk biaya riset dapat kembali dengan cepat.
2. Perusahaan manufaktur dari negara maju yang selama ini memimpin pasar mulai tersaingi dengan kehadiran produk-produk sejenis dari negara-negara industri baru di Asia dan Jepang. Produk sejenis yang membanjiri pasar tampil dengan kualitas tidak berbeda jauh dan dengan harga yang lebih kompetitif, mencakup misalnya obat-obatan, elektronik, komputer, semikonduktor, dan jasa konstruksi. Menurunnya supremasi perusahaan dari negara maju terutama AS diyakini terjadi akibat banyaknya pembajakan, pemalsuan, dan pencurian inovasi perusahaan AS. Meningkatnya defisit perdagangan AS semakin menguatkan pendapat bahwa perelindungan HaKI perlu diperkuat di tingkat internasional.
3. Negara-negara maju berkepentingan untuk tetap mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin pasar. Penguatan perlindungan HaKI yang dikaitkan dengan perdagangan akan membantu mempertahankan posisi tersebut dan memperlambat negara-negara lain untuk mengejar ketertinggalannya dalam bidang teknologi.
4. Monopoli teknologi melalui penguatan perlindungan HaKI memberikan peluang bagi perusahaan multinasional (Multinational Corporation/ MNC)untuk memperluas pasar di negara-negara berkembang. Karena perlindungan atas teknologi untuk memproduksi suatu produk akan menghambat negara importer atau negara tujuan untuk menjiplak atau memproduksi barang yang sama. Apabila negara pengimpor mampu memproduksi barang yang sama, maka kesempatan MNC untuk mengekspor langsung hasil produksinya ke negara bersangkutan semakin berkurang.
5. Bagi negara maju, seperti AS, HaKI sudah menjadi komoditi perdagangan internasional. Berdasarkan survei yang dilakukan National Science Foundation, Science and Engineering Indicators, 1991, penerimaan total AS dari perdagangan HaKI mencapai hampir $US 18 milyar (Priapantja,1999). Oleh karenanya, pemerintah dan perusahaan AS berupaya keras menginternasionalisasi hukum nasional di bidang perlindungan HaKI melalui berbagai forum internasional.
Di Indonesia secara nasional, sistem HaKI modern dimulai dengan diratifikasinya Konvensi WTO/ Persetujuan TRIPs dengan UU No.7/1974. Ratifikasi ini diikuti dgn berbagai langkah penyesuaian. Salah satu langkah strategis dalam rangka penyesuaian yaitu dalam hal legislasi dan konvensi Internasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO harus merevisi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HaKI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan baru untuk bidang HaKI, dan juga mempersiapkan penyertaan Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sejak tahun 1997 Pemerintah Indonesia menetapkan empat buah UU di bidang HAKI yang merupakan perubahan dari UU HAKI sebelumnya, dan selanjutnya pada akhir tahun 2000 Pemerintah telah mengesahkan tiga UU baru di bidang HAKI. Ke tujuh UU di bidang HaKI tersebut adalah sebagai berikut:
1. UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Yang merupakan perubahan dari UU No.12 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No.6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1987;
2. UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten. Yang merupakan perubahan dari UU No.13 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No.6 Tahun 1989 Tentang Paten;
3. UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek. Yang merupakan perubahan dari UU No.14 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No.19 Tahun 1992 Tentang Merek;
4. UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
5. UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri;
6. UU No.32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkit Terpadu
7. UU No.29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Pemerintah juga telah meratifikasi lima konvensi internasional di bidang HaKI, yaitu sebagai berikut:
1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Keppres No.15 Tahun 1997);
2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulations under the PCT (Keppres No.16 Tahun 1997);
3. Trademark Law Treaty (Keppres No.17 Tahun 1997);
4. Berne Convention for the protection of literary and Artistic Works (Keppres No.18 Tahun 1997);
5. WIPO Copy Right Treaty (Keppres No.19 Tahun 1997).
Salah satu karakteristik dari HAKI adalah adanya hak eksklusif bagi pemegang HAKI. Hak tersebut merupakan hak monopoli yang diberikan negara kepeda seorang penemu atau pencipta terhadap penggunaan suatu penemuan atau ciptaan bagi seorang penemu atau pencipta. Bentuk-bentuk Hak eksklusif atas HAKI, dapat dilihat pada beberapa aturan yang mengatur HAKI, sebagai berikut:
1) Hak eksklusif bagi pemegang Paten diatur dalam Pasal 16 UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, yaitu:
(1) Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yg dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
a. dalam hal paten produk: membuat, menggunakan menjual, mengimpor menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yg diberi paten;
b. dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. dalam hal paten proses: melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan paten proses.
Selanjunya dalam Pasal 19 dikatakan bahwa:
Dalam hal suatu produk impor ke Indonesia dan proses untuk membuat produk yang bersangkutan telah dilindungi paten yang berdasarkan UU ini, pemegang paten proses yang bersangkutan berhak atas dasar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2) melakukan upaya hukum terhadap produk yang di impor apabila produk tersebut telah dibuat di Indonesia dengan menggunakan proses yang dilindungi paten.
2) Hak eksklusif bagi pemegang Merek diatur dalam Pasal 3 UU No.1 Tahun 2001 Tentang Merek, yaitu
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
3) Hak eksklusif bagi pemegang hak cipta diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No.19 Tahun 3003 tentang Hak Cipta, yaitu:
Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, UU Cipta, UU Paten dan UU Merek juga mengatur mengenai lisensi. Pengaturan lisensi Paten seperti yang diatur dalam Pasal 69 hingga Pasal 73 dan mengenai Lisensi Wajib diatur dalam Pasal 74 sampai Pasal 87 UU No.14 Tahun 2001.
Rumusan yang diberikan dalam Pasal 69 mengenai lIsensi Paten, menyatakan bahwa:
1. Pemegang paten berhak memberi lisensi kepada orang lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16.
2. Kecuali jika diperjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi semua perbuatan sebagaimana dalam Pasal 16.
Apabila menyimak secara seksama terhadap hak eksklusif paten, khususnya lisensi paten yang merupakan lingkup perlindungan paten di atas, dan menganalisis dari perspektif kebijakan Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, maka hal tersebut menimbulkan beberapa masalah.
Sebagaimana dengan kasus yang terjadi di Jepang berkaitan dengan lisensi paten, yang melanggar ketentuan UU Anti Monopoli Jepang (Yuka Aoyagi, RCLIP – Researh Center for the Legal system of Intellectual Property – website, Waseda Institute)
Pada Tanggal 13 Juli 2004, The Japan Fair Trade Commission (JFTC), mengeluarkan suatu rekomendasi yang ditujukan kepada Microsoft Corporation, yang diduga melakukan pelanggaran atas section 19 Antimonopoly Act, yang berhubungan dengan subsection 13 of Unfair Trade Practice. Pada kasus ini, Perjanjian lisensi yang dibuat oleh Microsoft Corporation dengan produsen komputer personal, mensyaratkan bahwa produsen komputer personal tidak boleh menuntut atau berpartisipasi dalam segala bentuk yg berkaitan dgn penuntutan yang ditujukan kepada Microsoft Corporation atas suatu pelanggaran lisensi paten. Berikut ini isi perjanjian lisensi paten antara Microsoft Corporation dengan produsen komputer personal, yang dianggap sebagai suatu pelanggaran UU Persaingan usaha:
”When licensing Windows OS to personal computer manufacturers, Microsoft rendered them a license agreement containing the NAP (Non-Assertion of Patents) provision which contains covenants not to sue or participate in any kind of proceedings against Microsoft or other licensees for infringement of the licensee's patents”.
The JFTC, menganggap bahwa perjanjian ini tidak konsisten dengan Japanese Law, sebab membatasi aktivitas bisnis dari produsen komputer personal di Jepang yang dianggap tidak adil. Walaupun pada section 21 The Antimonopoly Act, mengecualikan dari Antimonopoly Act untuk segala aktivitas yang berkaitan dengan HAKI, tetapi perjanjian lisensi atas HAKI dapat diduga atau dianggap sebagai suatu pelanggaran atas Antimonopoly Act, seperti pada kasus di atas.
Secara umum prinsip-prinsip Hukum Persaingan Usaha adalah, pertama, efisiensis ekonomi. Dalam suatu ekonomi yang efisien akan lahir inovasi, produktivitas dan kreativitas, karena pada pasar yang bersaing yang bisa bertahan adalah mereka yang efisien. Kedua, fairness atau kelayakan. Semua pengusaha boleh mengejar laba dan menjadi besar tetapi dengan cara-cara yang sehat, bukan dengan cara memangsa pelaku usaha lain yang prosesnya tidak wajar atau tidak mengikuti persaingan yang baik. Ketiga adalah demokrasi ekonomi. Dalam rangka mencapai kesempatan yang sama diantara semua pelaku ekonomi, serta terdapat equal access pada semua sumber daya ekonomi. Equal access merupakan dasar dari demokrasi ekonomi.(Sutrisno Iwantono, 2003)
Selain itu, berikut ini bentuk praktek bisnis yang dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan obyek perlindungan paten pada produsen obat. Perluasan obyek paten yang pada awalnya hanya pada paten produk saja, tetapi kini (setelah UU Paten di revisi, yaitu sejak UU No.14 Tahun1997) telah meliputi paten proses, berakibat pada terhambatnya atau bahkan menghilangkan kemungkinan produsen obat lokal untuk memproduksi obat dengan harga murah, misalnya obat untuk penyakit kangker. Sebelum TRIP’s diterapkan, produsen lokal dapat memproduksi obat sejenis dengan proses yang berbeda karena proses tidak dipatenkan.(UN Development Report,2000). Sebagai contoh, di India pada 1998, obat HIV, Flucanazole yang diproduksi dalam negeri di jual dengan harga $US 55 untuk 100 tablet. Tetapi negara Asia lainnya harus membeli dengan harga lebih mahal karena harus membayar biaya riset dan teknologi. Di Malaysia harga obat tersebut $US 697, Indonesia $US 703 dan Philipina $US 817. Harga yang mahal ini melemahkan akses masyarakat negara berkembang untuk mendapatkan obat-obatan esensial dan produk farmasi yang dipatenkan oleh perusahaan di negara maju.(Khor,2001)
Dalam istilah ekonomi, penerimaan atas impor paralel dapat mencegah terjadinya segmentasi pasar dan diskriminasi harga oleh pemegang hak dalam skala regional atau internasional. Impor paralel memungkinkan konsumen untuk secara efektif berbelanja di pasar dunia untuk mendapatkan harga terendah bagi suatu produk yang dipatenkan
Sebenarnya ada dua celah dalam ketentuan TRIP’s untuk menyiasati hal tersebut di atas, yaitu penerapan impor parallel (parallel import) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 dan 31 dari TRIP’s, dan lisensi wajib (Compulsory Licensing).Ketentuan tersebut dikenal juga dengan exhaustion principle.
Exhaustion principle adalah prinsip yang menekankan bahwa suatu produk yang telah mendapat perlindungan HAKI yang untuk pertama kali dipasarkan atau masuk ke dalam suatu pasar dimanapun, maka pemiliknya kehilangan hak untuk mencegah atau menghalangi kegiatan paralel import atas suatu produk untuk masuk ke negara tersebut.
Menurut Ulas Demir (2004: 2), terdapat tiga tipe exhaustion, yaitu:
1. National Exhaustion: Until entry into local market, the proprietor of the trademark would prevent import to his country of the goods he puts on the market outside the country. After entry into local market, exhaustion is accepted for that country and the control right of the proprietor of the trademark ceases to exist over import to and export from that country. The proprietor of the trademark could not prevent export of the goods after entry into the market and re-import to the same country. Transit movement of the goods would also cause exhaustion under the national exhaustion principle. Thus, the proprietor of the trademark could prevent transit movement through his country of the goods presented in the foreign markets. Under Article 31 of the Turkish Free Zone Implementation Regulation, goods arriving in the free zones in order to be sent from a foreign free zone to another free zone or from a free zone to another country are described as transit goods.
2. Regional Exhaustion: Regional Exhaustion is an exhaustion of trademark right in a specific region within or outside national boundaries. Under the scope of the international regional free trade agreements, after entry of the goods into a country within a region, trademark rights are deemed to be exhausted for that region and paralel imports become possible between the countries of the region. However, paralel imports from a third county out of the region would not be possible, since exhaustion would not be realised on the side of this third country. The best example of such exhaustion is EU countries.
3. International Exhaustion: Following entry into any country, that trademark would be exhausted all around the world for those goods.
Impor paralel, yang biasa dikenal dengan sebutan black market, atau grey product, sering dimaknai sebagai suatu kegiatan mengimport suatu produk barang asli ke suatu negara tertentu tanpa izin dari pemilik HAKI atau pemegang lisensi atas HAKI di negara dimana produk tersebut diimport.
Contohnya, Di samping pemilik HAKI menunjuk pemegang lisensi eksklusif untuk negara X, pemilik tersebut juga menunjuk pemegang lisensi eksklusif untuk mendistribusikan barang-barang yang dimaksud hanya di negara W. Namun demikian, barang-barang tersebut kemudian diimpor ke negara X tanpa isin dari pemilik HAKI. Dalam situasi demikian pengimpor paralel melakukan suatu tindakan yang berdampak pada harga yang terkoreksi dan berpengaruh langsung pada pemegang lisensi di negara X.
Kegiatan impor paralel bisa juga dalam bentuk sebagai berikut: Pemilik HAKI atau sebut saja dengan pemilik merek dagang di negara Y, menunjuk pemegang lisensi eksklusif untuk mendistribusikan barang-barang dari pemilik merek hanya untuk di negara X, namun demikian, tanpa kewenangan dari pemilik merek, barang-barang tersebut diimpor ke negara Y. Dalam hal ini, pemilik merek mungkin langsung merasakan efek dari harga yang bersaing yang diakibatkan oleh masuknya barang yang sama ke negara x secara impor paralel. Sebab biasanya pengimpor paralel menjual produknya lebih murah dari harga yang ditawarkan oleh pemilik merek.
Impor paralel dapat memiliki arti penting pada sektor kesehatan, karena industri farmasi biasanya menetapkan harga secara berbeda diseluruh dunia untuk obat yang sama. Impor suatu obat (paten obat) dari suatu negara dimana obat tersebut dijual dengan harga lebih rendah, akan memungkinkan lebih banyak pasien di negara pengimpor untuk memperoleh produk tersebut tanpa mencegah pemegang patennya untuk menerima imbalan bagi invensi yang telah diberi paten di negara dimana produk tersebut dijual pertama kalinya.
Contoh berikut untuk menjelaskan masalah impor paralel mengenai harga obat Amoxicillan Amoxil, yang merupakan hasil survei dari Health Action International. Di Pakistan dijual dengan harga $US 8, Malaysia $US 34, Indonesia $US 40, Italia $US 22, Selandia Baru $US 16, Philipina $US 29, Kanada $US 14, Jerman $US 60 dan AS $US 36. Artinya, produsen dan konsumen Indonesia dapat membeli obat tersebut melalui fasilitas impor paralel dari Pakistan dibandingkan apabila membeli langsung dari Smithkline Beecham.
Berikut contoh mengenai impor paralel atas produk merek. Sebutlah produk telepon seluler dengan merek Nokia dengan type Comunicator 9300. Distributor resmi merek Nokia menjual dengan harga Rp.4.000.000, untuk produk yang sama (asli) yang dijual tanpa melalui distributor resmi, seharga Rp.3.150.000,- Terdapat perbedaan harga yang cukup jauh. Hal ini berpengaruh pada jumlah penjualan bagi distributor resmi, atau pemegang lisensi merek untuk suatu wilayah pasar, tapi di sisi lain konsumen mempunyai pilihan.
Pada dasarnya kebijakan impor paralel adalah untuk memberi peluang masyarakat menggunakan hak itu dengan tujuan untuk menggerakkan bekerjanya mekanisme pengendalian harga. Logikanya sederhana, yaitu membuka kehadiran kompetitor melalui saluran impor. Hadirnya barang impor pada gilirannya akan mengontrol harga jual produk paten melalui mekanisme persaingan terbuka. Dengan begitu, pemegang paten tidak dapat secara sewenang-wenang menentukan harga jual produknya atas dasar otoritas monopoli yang dimilikinya. Berapapun harga yang ditentukan, bila jauh melampaui harga barang yang sama yang masuk melalui importasi, harga serta merta akan terkoreksi. Ini berarti harga jual menjadi lebih rasional. Bila ini dapat berlangsung dengan efektif, maka pasar dapat benar-benar aman dari distorsi monopoli, sebagaimana yang dicita-citakan dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha,yakni: menyediakan barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah, mutu yang lebih baik dan dengan pilihan yang lebih banyak.
Menurut Anti Trust Guidelines for The Licensing Of Intellectual Property, tidak boleh diduga bahwa pemegang hak atas kekayaan intelektual pada saat yang bersamaan memiliki kekuasaan atas pasar, dan segala kekuasaan atas pasar yang dimilikinya tidak mewajibkannya untuk melisensikan hak atas kekayaan intelektual (Knud Hansen, 2001)
Dalam Pasal 50 huruf b UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengecualikan perjanjian yang berkaitan dengan HaKI, temasuk lisensi. Namun hal tersebut di atas masih tetap meninggalakan permasalahan, yang perlu dikaji secara seksama. Perjanjian tersebut perlu penyempurnaan. Pasal 50 hrf b harus diinterpretasikan secara restriktif dengan mengambil pembanding UU persaingan internasional.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka issue dari penelitian ini, bahwa Kerangka dasar Hak eksklusif HAKI khususnya Paten dan Merek kaitannya dengan kegiatan impor paralel, serta pengaturan pemberian lisensi yang bersifat eksklusif, dapat menimbulkan hambatan dalam persaingan ekonomi terbuka. Mengingat permasalahan tersebut dilatarbelakangi oleh dua peraturan yang sangat urgen mengatur perekonomian yakni peraturan di bidang HaKI dan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat.
E. Penutup
1. Implikasi hak eksklusif HAKI adalah munculnya hak yang berlebihan pada pemegang lisensi yang berakibat pada penguasaan pasar (monopoli) yang tentu saja berujung pada persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition). Di samping itu, juga dapat menghambat kegiatan paralel impor –yang seharusnya—kegiatan paralel impor tersebut justru dapat menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat (fair competition) yang sejalan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha, seperti prinsip keadilan, fairness, dan lain-lain.
2. Pelaksanaan kewenangan pemegang lisensi HAKI belum optimal. Hal itu disebabkan –disatu sisi—tidak adanya mekanisme yang jelas dan lembaga yang representatif menangani komplein atau pengaduan HAKI. Di sisi lain, pemegang lisensi tidak dapat membendung masuknya barang-barang impor yang sama dengan produk yang telah memperoleh perlindungan HAKI di Indonesia.
Daftar Pustaka:
Asril Sitompul, 1999, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditiya Bakti, Jakarta
Bainbridge, David I, 1990, Computers and The Law, Pitman Publishing, London
Correa, C.M, 1998, Implementing The TRIP’s Agreement. General Context and Implications for Developing Countries, Third World Network, Penang, Malaysia
Demir, Ulas, 2004, Exhaustion of Trademark Rights and Paralel Imports, White Paper, Istambul Bilgi University, Istambul.
Elly Erawaty, 2003, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas, Suatu Pengantar (dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Knud Hansen, dkk, 2002, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Katalis, Jakarta.
Morr A. L.,1999, “Hong Kong’s Copyright Ordinance: How the Ban on Parallel Imports Affects the U.S. Entertainment Industry and HongKong’s Free Market” 21 Hastings Com. HongKong.
Muhamad Djumhana dan R.Djubaidillah, 1997, Hak Milik Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Posner, Richard, 1976, Antitrust Law: An Economic Perspective, University Of Chicago Press, Chicago.
Roscoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Williams, John F. 1986, A Managers Guide to Patent, Trade Marks & Copyright, Kogan Page, London.
|
|
|||